Langsung ke konten utama

Separuh Ibu Separuh Ayah (1)

minggu, 10 Oktober 2009 | 19:08 WIB

Satu hari di acara pertemuan warga Indonesia saya berkenalan dengan seorang wanita yang baru saja pindah menetap ke kota saya di Montpellier. Wanita ini -sebutlah Ema- ternyata pindah kota  karena sedang dalam tahap proses perceraian dengan suaminya orang Perancis.

Mungkin karena sedang banyak pikiran, segala unek-uneknya begitu saja mengalir deras terserap masuk dalam otak saya. Kasihan. Itu yang melintas di benak saya. Nasib teman baru saya ini sebenarnya bukan yang pertama kali saya dengar. Begini sebagian kata yang diungkapkannya sambil bercucuran air mata:

“Sekarang dalam proses cerai kaya gini, aku kesusahan Mbak, karena anak-anak warga negaranya kan ikut papanya. Nah, kalau sudah cerai ya mau ngapain coba aku hidup di sini? Kerja enggak bisa, paling ngandelin tunjangan dari bekas suami! Mau pulang enggak bisa. Jadi, terpaksalah aku tinggal di Perancis, karena kalo enggak aku akan kesusahan toh! Aku bisa kehilangan anak-anakku. Tapi Mbak, yang jadi masalah lagi izin tinggalku hanya berlaku sampai 2010. Duh! gimana coba? Kalau seandainya pemerintah Perancis enggak mau kasih aku perpanjangan izin tinggal, berarti aku harus balik ke Indonesia kan? Nah anak-anakku gimana dong, Mbak? Aku bingung!”

 Kutanyakan tentunya, memang anak-anak tidak memiliki status kewarganegaraan Indonesia? Kan sekarang sudah bisa? Ditatapnya saya dengan mata terbelalak.

“Hah! Sejak kapan Mbak? Anak yang bapaknya orang asing bisa jadi WNI?” tanyanya heran.
“Oalahhhhh....sudah sejak tahun 2006 prosesnya bisa dilakukan. Malah, anak yang lahir di tahun 2007 otomatis jadi WNI.”

Eleuh eleuh..bagaimana ini. Saya jadi berpikir sendiri, apakah informasi soal ini yang kurang galang? Atau, penyuluhan yang tak jalan? Ternyata teman saya itu memang tak tahu sama sekali mengenai masalah ini.

Anak WNI


Hak seorang ibu Indonesia terhadap anaknya karena menikah dengan warga negara asing memang merupakan masalah yang pelik. Walaupun Kang Dadang merupakan suami yang bageur (baik) dan shaleh (dimata keluarga saya loh), tetap saja saya merasakan kesedihan yang amat dalam ketika anak saya hanya berkewarganegaraan Perancis.

Saya mengalami betul, setiap kali kami pulang ke tanah air, saya harus mengantar anak dan suami ikut antre mengajukan permohonan visa. Saya sedih karena darah daging saya sendiri harus menjadi seperti turis di tanah air ibunya. Dulu sebelum menikah memang masalah ini rasanya tak terlalu dipikirkan. Namun ketika melihat secara langsung barulah sadar, tak semudah itu menelan kenyataan bahwa saya, ibunya yang mengandungnya selama sembilan bulan, tak memperoleh hak kewarganegaraan atas dirinya.

Hati ini lega bukan main ketika akhirnya pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan baru: anak yang lahir dari pasangan campuran dan memiliki ayah atau ibu berkewarganegaraan Indonesia berhak menjadi WNI. Anak berayah-ibu “campuran” ini juga berhak memegang kewarganegaraan lainnya alias berkewarganegaraan ganda


Meskipun hak atas dua warga negara ini hanya berlaku hingga si anak berusia 18 tahun dan kemudian masih diberikan kesempatan selama tiga tahun untuk memikirkan warga negara apa yang akan dipilih nantinya, kesempatan menjadi satu bangsa antara saya dan anak merupakan ikatan emas yang berharga.

Sayangnya, tak semua orang mengetahui peluang ini. Lebih disayangkan lagi kalau ada yang tahu tapi tidak bisa mengambil kesempatan ini. Alasannya, suami mereka tak menyetujui. Setiap orang memang bebas memiliki alasan tersendiri. Apalagi bila si wanita memang menyetujui atas kesadaran sendiri, merelakan anak mereka tak ikut melebur jadi satu bangsa dengan dirinya. Saya menghargai setiap pilihan itu.

Kali ini saya ingin berbagi cerita soal kewarganegaraan anak saya. Hanya sekadar berbagi, jauh dari maksud menggurui. Siapa tahu cerita ini bisa jadi bahan pertimbangan bagi mereka yang ingin menikah dengan orang asing nantinya.

Anak saya bukan turis lagi

Adam anak sulung saya lahir di Bandung 9 tahun lalu. Alhamdulillah, sejak menetap di Perancis kami sekeluarga bisa pulang kampung setiap tahun. Nah, setiap kali pulkam, saya selalu repot mengurus visa bagi Adam. Suami sih biasanya pake visa turis yang langsung dicap di airport. Tapi, anak saya kan sering tinggal bersama saya lebih dari 60 hari. Artinya, Adam memerlukan visa khusus. Bahkan, pernah anak saya tinggal hingga 4 bulan lamanya karena ia begitu ingin mencoba bersekolah di Indonesia.


Sayangnya, kami kesulitan mencari sekolah di Indonesia yang mau menerima Adam karena ia bukan WNI. Memang bagitu aturannya. Saya dan Kang Dadang sampai pilu sekali. Tapi untungnya, orangtua saya kenal dengan seseorang yang memiliki sekolah Islam bernuansa alam yang mau menampung Adam selama tiga bulan. Di situlah Adam belajar berbaur dengan gembira dengan teman Indonesianya sambil menimba ilmu tentang Islam.

Tapi, untuk bisa tinggal lebih dari 60 hari membutuhkan visa khusus yang harus diperpanjang di kantor imigrasi. Setiap bulan seorang bocah harus bolak-balik mengurus izin tinggal di tanah air ibu kandungnya. Adam yang hapal betul dengan tahapan yang rumit, panjang dan bertele-tele ini suatu kali menangis ketika kami sedang menunggu panggilan petugas imigrasi. Hati saya tersayat mendengar keluhannya.

“Mamah bilang saya ini orang Indonesia dan Perancis? Tapi kenapa orang Indonesia enggak mau kasih izin tinggal sama Adam? Memang mereka enggak suka ya sama bule? Adam kan bukan turis mah. Saya ini kan anak mamah, anak Indonesia. Lahirnya aja di Bandung,  masa sih mah mereka enggak kasihan sama saya? Kan saya bukan bule seratus persen, tapi setengah bule setengah Indonesia, ya kan mah?” katanya sambil tersedu.

Waktu itu anak saya masih berumur 4,5 tahun. Saya jelaskan sebisa mungkin agar ia mengerti. Ini bukan masalah suka atau tidak suka, tapi memang sudah peraturannya. Saya katakan pada Adam, saya pun harus bolak balik ke kantor kehakiman untuk mendapatkan izin tinggal di Perancis.

Jawaban Adam, “Ya wajar dong mah...Enin dan Aki (nenek kakek bahasa sunda) kan orang Sunda bukan orang Perancis. Jadi, mamah memang bukan bule.”

Yah..begitulah Adam.


Satu kali, saya harus pulang mendadak karena adik saya meninggal dunia. Adam cuma bisa tinggal di Indonesia selama kurang dari tiga minggu karena visanya hanya visa turis yang diperoleh di Bandara. Saat itu betapa saya masih ingin tinggal di tengah keluarga untuk mengurangi luka yang terkoyak di jiwa kedua orang tua. Tidak bisa. Waktu tinggal saya di Indonesia terganjal izin tinggal Adam. Apa daya, saya harus meninggalkan mereka dalam kesedihan.

Soal kewarganegaraan Adam yang mulanya tunggal sebenarnya tidak membuat hidup saya susah. Namun, beberapa kali saya dengar cerita pilu, gara-gara masalah kewarganegaraan beberapa wanita Indonesia terpaksa kehilangan anak mereka.

Sekarang saya memiliki dua pangeran kecil di rumah, Adam dan Bazile. Keduanya memiliki dua kewarganegaraan. Tak bisa dipungkiri, status ganda kewarganegaraan mereka membuat batin saya tenang. Beban pikiran terasa ringan.

Saya dibuat begitu terharu ketika kami sekeluarga pulang ke tanah air. Adam tak mau melepaskan paspor Indonesia dari tangannya. Saya minta berkali-kali supaya ia membiarkan mamah atau papanya yang mengurus paspornya di imigrasi bandara nanti. Ia tetap ngotot ingin memegang paspor hijaunya. Saat saya tanya kenapa? Jawabnya adalah:

“Duh mamah...udah bertahun-tahun saya ini enggak diaku sebagai orang Indonesia gara-gara enggak punya paspor hijau ini. Sekarang boleh kan saya mejengin ke mereka, ini lho saya udah resmi deh jadi orang Indonesia kayak mamah..”

Ketika kami melewati imigrasi, Adam dengan tenangnya berkata dalam bahasa Indonesia, “Selamat malam Pak imigrasi, ini paspor Indonesia saya.....”


(Bersambung)


kompas.... sumber terpecaya....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tindik Lidah Berisiko Bikin Otak Bengkak

Kamis, 15/10/2009 16:32 WIB   Jakarta, B eberapa tahun yang lalu orang hanya mengenal tindikan pada telinga saja, tapi kini hampir semua bagian tubuh bisa ditindik. Tapi jika Anda ingin melakukan tindik lidah, cobalah dipikir kembali sebelum benar-benar memutuskan. Para dokter mengatakan bahwa memiliki tindikan di lidah bisa meningkatkan risiko pembengkakan otak. Sebuah arsip Neurology melaporkan bagaimana seorang laki-laki berusia 22 tahun meninggal dunia akibat mengalami pembengkakan otak setelah beberapa minggu menindik lidahnya. Dokter dari pria Israel tersebut telah memberitahukan bahwa terjadi infeksi yang bisa menyebar ke dalam aliran darah yang bisa membahayakan otak. Para pakar mengatakan tindik yang dilakukan di lidah lebih sering menyebabkan gigi patah dan infeksi mulut, namun terkadang juga menimbulkan masalah pada jantungnya. Meskipun memiliki risiko yang cukup mengerikan, menindik lidah tetap saja menjadi populer. Hal ini juga didukung oleh banyaknya sele...
Berikut ini adalah tips yg dapat anda gunakan untuk memperoleh  foto pra wedding  yang bagus: Tempat Jika anda melakukan foto pre wedding outdoor, maka tentukanlah lokasi yg anda sukai. Apakah itu pantai, gunung, gedung2 tua, perkantoran modern, hotel, cafe dll. Jikalau lokasinya cukup jauh ada baiknya anda meluangkan waktu untuk menginap di lokasi yang dekat dengan lokasi pemotretan prewedding. Pilihan lokasi yg tepat akan membantu anda merasa lebih “santai & nyaman” pada saat pemotretan sehingga akan lebih mudah mendapatkan foto pre wedding yang “bagus”. Waktu Sediakanlah waktu yang cukup antara sesi pemotretan pre wedding dengan hari h anda, paling tidak sekitar 1 bulan sebelum hari pernikahan anda. Karena melakukan pemotretan prewedding biasanya dilakukan 1 hari penuh dari pagi sampai sore dan hal ini akan cukup menyita energi anda. Untuk mendapatkan pre wedding photo outdoor yang bagus biasanya fotografer anda akan menyarankan agar dimulai pagi hari sekali, sekitar p...

Alat Pemalsu Keperawanan Laris Manis di Indonesia

Jumat, 16/10/2009 16:05 WIB Alat Pemalsu Keperawanan Laris Manis di Indonesia Deden Gunawan, Nurul Ulfah - detikHealth Jakarta, Meski banyak menuai kontroversi, alat pemalsu keperawanan yang dirancang khusus untuk mengelabui pria sudah mulai masuk ke Indonesia. Dalam 3 hari saja 100 paket selaput dara palsu ini ludes terjual. Seorang penjual selaput dara palsu Hartarto mengaku kehabisan stok padahal ia hanya menjual lewat iklan di internet. Karena kehabisan, bagi yang ingin memesan selaput dara palsu seharga Rp 700 ribu itu, harus menunggu hingga bulan depan. "Stok kita memang terbatas. Karena saya mengimpor dengan cara konvensional lewat saudara saya yang bekerja di Jepang. Dia pulang ke Indonesia setiap dua sampai tiga bulan sekali," jelas Hartarto saat berbincang-bincang dengan detikcom. Selain kesulitan dalam mengimpor, Hartato sengaja tidak menjual dalam jumlah besar supaya bisa tetap dapat untung besar. Pasalnya, jika barang tersebut membanjiri Indonesia...